KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
PENDIDIKAN BERKARAKTER ADALAH SOLUSI
Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa sistem pendidikan di Indonesia sebetulnya hanya menyiapkan para siswa untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi atau hanya untuk mereka yang memang mempunyai bakat pada potensi akademik (ukuran IQ tinggi) saja.
Hal ini terlihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik siswa yang sering hanya diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghafal, abstraksi atau ukuran IQ).
Hal ini terlihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik siswa yang sering hanya diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghafal, abstraksi atau ukuran IQ).
Padahal ada banyak potensi lainnya yang perlu dikembangkan, karena berdasarkan teori Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, potensi akademik hanyalah sebagian saja dari potensi-potensi lainnya.
Hukum alam selalu menunjukkan bahwa di mana pun manusia di muka bumi ini, yang memiliki IQ di atas angka 120 tidak lebih dari 10 persen jumlah penduduk. Namun sebaliknya, sebagian besar mereka –yang kecerdasannya bukan pada dimensi akademik (ilmuwan, pemikir, dan ahli strategis), tetapi dimensi-dimensi lainnya –misalnya pekerjaan teknisi, musisi, manual (motorik), artis, atau hal-hal lain yang sifatnya “lebih konkrit”. Kualitas produksi barang dan jasa pun sangat tergantung pada kualitas segmen penduduk yang mayoritas ini.
Tantangannya adalah apakah penduduk mayoritas ini sudah dipersiapkan untuk dapat bekerja secara profesional sehingga dapat menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas tinggi.
Menurut Thurow, dalam hal kualitas produksi, negara AS kalah dengan Jepang karena strategi pendidikan di Jepang lebih mementingkan bagaimana menyiapkan tenaga kerja yang berkualitas dan profesional -yang merupakan bagian terbesar dari penduduk. Berbeda dengan AS yang lebih mementingkan 10 persen siswa terpandai, strategi pendidikan Jepang justru sebaliknya, yaitu terutama menyiapkan 50 persen siswa terbawah (dalam skala IQ) untuk menjadi tenaga kerja yang handal.
Sedangkan mereka yang sangat tinggi kemampuan akademisnya (yang populasinya tidak lebih dari 15 persen), akan masuk ke jenjang perguruan tinggi setelah menempuh ujian saringan perguruan tinggi yang sangat sulit. Dengan strategi seperti ini, maka terlihat bahwa sistem pendidikan di Jepang –terutama pendidikan dasar— dianggap relatif tidak sulit dan menyenangkan bagi anak-anak.
Lain halnya dengan Indonesia, sistem pendidikan di negara justru menyiapkan seluruh siswa untuk dapat menjadi ilmuwan dan pemikir (filsuf), sehingga seluruh mata pelajaran dirancang sedemikian rupa sulitnya, sehingga hanya dapat diikuti oleh 10 sampai 15 persen siswa terpandai saja atau mereka yang mempunyai IQ di atas 115.
Memang, beberapa siswa Indonesia bisa berprestasi mendapatkan hadiah olimpiade, namun dapat dipastikan bahwa mereka adalah bagian dari top 0.1 persen tingkat IQ tertinggi saja (bukan cerminan dari kondisi seluruh siswa Indonesia). Sudah puluhan tahun energi bangsa kita terbuang sia-sia untuk menciptakan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala beban kurikulum yang luar biasa beratnya.
Padahal, jika potensi (IQ) siswa hanya 90 atau 100, diberi pelajaran tambahan berapa pun, tidak akan bisa meningkatkan hingga 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan pada bidang keterampilan untuk menyiapkan 85 persen penduduk agar mereka siap dan terampil bekerja secara profesional, mencintai pekerjaannya dan berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi Indonesia tidak akan separah sekarang.
Apa yang telah ditanam pemerintah (pemegang dan pembuat kebijakan) selama ini, ternyata membuahkan hasil. Kualitas SDM (Human Development Index) Indonesia ’terjun bebas’ berada di bawah Vietnam, atau nomor 4 terbawah (nomor 102 dari 106 negara). Hasil Survei PERC di 12 negara juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan terbawah, satu peringkat di bawah Vietnam. Sedangkan, hasil survey matematika di 38 negara Asia, Australia, dan Afrika oleh TIMSS-R, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 34. Mengapa kualitas SDM kita sedemikian buruknya? Jelas sebabnya adalah para pemimpin Indonesia, sejak merdeka hingga kini tidak mempunyai visi dan strategi yang jitu dalam membawa bangsa ini melesat jauh ke depan.
Namun Jepang dan Jerman mempunyai strategi utama untuk mencetak tenaga kerja handal. Yaitu dengan mendidik 60 persen penduduk terbawah dengan pendidikan keterampilan. Di sisi lain, mereka tetap menyadari bahwa untuk mencetak manusia yang menguasai IPTEK hingga mampu menciptakan teknologi baru, perlupendidikan yang tepat bagi 15 persen terpandai (brain power) sehingga mereka siap masuk ke jenjang perguruan tinggi.
Jerman dan Jepang terkenal dengan apprentice system (keterampilan) yang handal, sehingga produk-produk mereka terkenal paling bagus kualitasnya di dunia, karena dikerjakan oleh para pekerja yang terampil, pekerja keras, percaya diri dengan kemampuannya dan mempunyai kualitas karakter lainnya yang mendukung.
Mereka adalah para pekerja manual, bukan saintis atau ilmuwan. Tentu saja Jerman dan Jepang juga memperhatikan perguruan tinggi untuk menampung 15 persen penduduk terpandai (yang daya abstraksi dan analitiknya tinggi). Namun demikian, tidak dengan cara memaksakan target perguruan tinggi –supaya menjadi ilmuwan - kepada 85 persen lainnya.
Apabila strategi pendidikan ditujukan untuk menciptakan para pekerja yang handal (yang meliputi 85 persen penduduk), maka fokus pendidikan harus lebih memperhatikan penyiapan anak didik sehingga siap bekerja dan terampil selepas SLTA atau bahkan SLTP, tergantung bidang-bidang keterampilannya. Namun kenyataannya, mayoritas siswa Indonesia sejak usia SD sudah habis energinya mengikuti pelajaran yang dirancang supaya mereka tidak mampu mengikutinya.
Selain itu, metode pembelajaran di kelas banyak yang menyalahi teori-teori perkembangan anak. Hasilnya adalah generasi yang tidak percaya diri (apalagi kalau divonis dengan sistem ranking di sekolah), sehingga sempurnalah pencetakan SDM Indonesia yang berada di urutan terbawah; tidak bisa bekerja, tidak terampil, tidak percaya diri, dan tidak berkarakter. Mereka tumbuh dikondisikan oleh sebuah sistem yang salah.
Aspirasi siswa yang keliru sejak dini sudah terbentuk, yaitu tidak menghargai pekerjaan manual yang memerlukan keterampilan, kerajinan, dan ketekunan. Dalam hal ini, termasuk juga mereka yang memasuki sekolah kejuruan (SMK), yang umumnya tidak mempunyai gairah untuk mencintai bidang keterampilannya karena merasa dicap bodoh, terlebih jika lingkungannya menganggap bahwa simbol keberhasilan adalah memiliki gelar kesarjanaan –bukan memiliki keterampilan kerja.
Selain itu, karena tujuan pendidikan diarahkan untuk mencetak anak pandai secara kognitif (yang menekankan pengembangan otak kiri saja dan hanya meliputi aspek bahasa dan logis-matematis), maka banyak materi pelajaran yang berkaitan dengan pengembangan otak kanan (seperti kesenian, musik, imajinasi, dan pembentukan karakter) kurang mendapatkan perhatian (lihat bab mengenai bahasan multiple intelligences - sembilan aspek kecerdasan).
Kalaupun ada, maka orientasinya pun lebih kepada kognitif (hafalan), tidak ada apresiasi dan penghayatan yang dapat menumbuhkan kegairahan untuk belajar dan mendalami materi lebih lanjut. Celakanya, pendekatan yang terlalu kognitif telah mengubah orientasi belajar para siswa menjadi semata-mata untuk meraih nilai tinggi.
Hal ini dapat mendorong para siswa untuk mengejar nilai dengan cara yang tidak jujur, seperti mencontek, menjiplak, dan sebagainya. Mata pelajaran yang bersifat subject matter juga makin merumitkan permasalahan karena para siswa tidak melihat bagaimana keterkaitan antara satu mata pelajaran dengan yang lainnya, serta tidak relevan dengan kehidupan nyata. Akibatnya, para siswa tidak mengerti manfaat dari materi yang dipelajarinya untuk kehidupan nyata.
Sistem pendidikan seperti ini membuat manusia berpikir secara parsial, terkotak-kotak, yang menurut David Orr adalah akar dari permasalahan yang ada: “Isu-isu terbesar saat ini pasti berakar dari kegagalan kita untuk melihat segala sesuatu secara keseluruhan. Kegagalan tersebut terjadi ketika kita terbiasa berpikir secara terkotak-kotak dan tidak diajarkan bagaimana untuk berpikir secara keseluruhan dalam melihat keterkaitan antar kotak-kotak tersebut, atau untuk mempertanyakan bagaimana suatu kotak (perspektif) dapat terkait dengan kotak-kotak lainnya” (Clark1997).
Hal yang sama diungkapkan oleh Fitjrof Capra, bahwa betapa pengetahuan manusia tentang sains, masyarakat, dan kebudayaan telah begitu terkotak-kotak, sehingga manusia tidak mampu melihat gambar keseluruhan (wholeness) dari setiap fenomena.
Akibatnya banyak solusi yang dilakukan manusia dalam menghadapi berbagai segi kehidupan manusia didekati pula secara fragmented (parsial), sehingga tidak dapat memperbaiki masalah, tetapi justru semakin memperburuknya. Inti pemikiran Fitjrof Capra adalah menekankan pentingnya untuk melihat segala sesuatu secara keseluruhan : “multidisciplinary, holistic approach to reality.”
Apabila dalam dunia fisika paradigma telah bergeser dari pendekatan mekanistik dan terfragmentasi dalam menelaah partikel-partikel benda mati ke arah pendekatan menyeluruh, maka sudah seharusnya pendekatan yang sama diterapkan dalam bidang-bidang keilmuan lainnya, terutama yang menyangkut bagaimana mempelajari manusia dan semua unsur-unsur peradabannya.
Oleh karena itu, perlu dilaksanakan reformasi pendidikan ke arah yang lebih kondusif untuk terciptanya kualitas SDM yang berkualitas, terutama melalui pengenalan konsep pendidikan holistik (menyeluruh). Tujuan pendidikan holistik, seperti yang dikatakan oleh J. Krishnamurti, adalah “The highest function of education is to bring about an integrated individual who is capable of dealing with life as a whole”.
Sizer (1999) mengatakan bahwa tujuan pendidikan selain untuk mempersiapkan manusia untuk masuk ke dalam dunia kerja, adalah untuk membuat manusia dapat berpikir secara menyeluruh serta menjadi manusia yang bijak (thoughtful and decent human being).
Sejak 2500 tahun yang lalu Socrates telah berkata bahwa tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi “good and smart”. Manusia yang terdidik seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang dapat menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal shaleh), dan dapat hidup secara bijak dalam seluruh aspek kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara.
Karenanya, sebuah sistem pendidikan yang berhasil adalah yang dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang terhormat. Seperti menurut Socrates: "Then the man who's going to be a fine and good guardian of the city for us will in nature be philosophic, spirited, swift, and strong" (Bloom, A.: 1991).
Kurikulum Holistik Berkarakter
Kurikulum Holistik Berkarakter
Perlu menggunakan kurikulum berkarakter atau “Kurikulum Holistik Berbasis Karakter” (Character-based Integrated Curriculum), yang merupakan kurikulum terpadu yang “menyentuh” semua aspek kebutuhan anak. Sebuah kurikulum yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan, dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual.
Bidang-bidang pengembangan yang ada di TK dan mata pelajaran yang ada di SD yang dikembangkan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup yang terkait dengan pendidikan personal dan sosial, pengembangan berpikir/kognitif, pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motorik juga dapat teranyam dengan baik apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran yang terpadu dan menyeluruh (Holistik).
Pembelajaran holistik terjadi apabila kurikulum dapat menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-kejadian secara autentik dan alamiah. Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini akan terjadi suatu proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang akan saling terkait dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum.
Pembelajaran holistik terjadi apabila kurikulum dapat menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-kejadian secara autentik dan alamiah. Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini akan terjadi suatu proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang akan saling terkait dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum.
Pembelajaran holistik berlandaskan pada pendekatan inquiry dimana anak dilibatkan dalam merencanakan, bereksplorasi dan berbagi gagasan. Anak-anak didorong untuk berkolaborasi bersama teman-temannya dan belajar dengan “cara” mereka sendiri. Anak-anak diberdayakan sebagai si pembelajar dan mampu mengejar kebutuhan belajar mereka melalui tema-tema yang dirancang.
Sebuah pembelajaran yang holistik hanya dapat dilakukan dengan baik apabila pembelajaran yang akan dilakukan alami-natural-nyata-dekat dengan diri anak, dan guru-guru yang melaksanakannya memiliki pemahaman konsep pembelajaran terpadu dengan baik. Selain itu juga dibutuhkan kreativitas dan bahan-bahan/sumber yang kaya serta pengalaman guru dalam berlatih membuat model-model yang tematis juga sangat menentukan kebermaknaan pembelajaran.
Tujuan model pendidikan holistik berbasis karakter adalah mmbentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu untuk membentuk manusia yang lifelong learners (pembelajar sejati). Yaitu dengan
- 1. Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberikan materi pelajaran yang konkrit, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning, inquiry-based learning, integrated learning);
- 2. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conducive learning community) sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat;
- 3. Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan erkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good;
- 4. Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga 9 aspek kecerdasan manusia;
- 5. Seluruh pendekatan di atas menerapkanprinsip-prinsip.
Sumber : google.com (dari berbagai situs)
0 komentar:
Posting Komentar